Jaksa Penuntut Umum menyatakan terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa dipidana dengan Pasal 156a dan Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
“Kami belum pernah menemukan satu literatur manapun bahwa Pasal 156a KUHP adalah delik formil,” ujar Sirra di PN Jakut. Sirra kemudian mendesak JPU untuk memberikan bukti konkret bahwa Ahok layak dipidana dengan Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP. Jika tidak ada bukti tersebut, kata Sirra, majelis hakim harus bisa mengambil keputusan yang adil bagi Ahok. “Hakim diberi keleluasaan untuk menafsirkan, apakah itu delik formil atau materil,” tutur Sirra.
Ketua JPU Ali Mukartono mengatakan, meski delik yang terkandung di kedua pasal itu merupakan delik formil atau tidak menyebabkan akibat, namun tindakan Ahok yang diduga menistakan agama dinilai telah menyebabkan akibat tersendiri.
“Saya sampaikan materil ada akibat, delik formil tidak ada akibat. Pasal 156 KUHP itu delik formil. Tapi sepanjang perbuatannya sesuai delik perbuatannya bisa dipidana," ujar Ali usai persidangan di PN Jakarta Utara, Jakarta, Selasa (20/12).
Ali berkata, proses pembuktian bahwa Ahok layak dipidana akan dilakukan di sidang selanjutnya. Saat ini, kata dia, JPU masih menganalisa alat bukti dan berkas perkara untuk membuktikan hal tersebut.
Lebih lanjut, Ali kembali mendesak agar majelis hakim menolak segala nota keberatan atau eksepsi yang diutarakan Ahok. Ia menilai, eksepsi yang dilakukan Ahok telah terbantahkan oleh seluruh jawaban yang diuraikan oleh pihaknya.
“Sesuai Pasal 156 KUHAP, majelis hakim mempertimbangkan penuntut umum dan mengambil keputusan,” ujarnya. Di sisi lain, salah satu pengacara Ahok, Sirra Prayuna berpendapat, Pasal 156a KUHP tidak bisa digunakan oleh hakim untuk memidanakan Ahok karena bersifat materil. Ia berkata, tidak ada satu literatur yang dapat membuktikan bahwa pasal itu merupakan delik formil dan dapat digunakan untuk memidanakan seseorang.
Ini Analisa Yuridis Jaksa Tolak Nota Keberatan Ahok | Equity World
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak seluruh eksepsi atau nota keberatan yang diajukan terdakwa perkara dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beserta tim kuasa hukumnya dalam sidang lanjutan Selasa (20/12).
Pada sidang sebelumnya, jaksa mendakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara sengaja mengeluarkan perasaaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penodaan agama.
Jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama. Sidang pada pagi ini beragendakan pembacaan tanggapan dari jaksa penuntut umum atas nota keberatan yang diajukan terdakwa dan tim kuasa hukum pada sidang pekan lalu.
Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto memutuskan untuk menunda sidang selanjutnya dengan agenda pembacaan putusan sela yang dilaksanakan Selasa pekan depan (27/12) di lokasi persidangan yang sama, Gedung PN Jakarta Utara Jalan Gajah Mada (bekas gedung PN Jakarta Pusat).
"Berdasarkan analisa yuridis seluruh alasan keberatan yang diajukan oleh terdakwa tidak berdasar hukum dan patut untuk ditolak sehingga karena itu, kami selaku penuntut umum memohon kepada majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut, menolak keberatan dari terdakwa dan penasihat hukum seluruhnya," kata Ketua Tim JPU Ali Mukartono pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (20/12).
Tim JPU juga memohon kepada Majelis Hakim untuk melanjutkan pemeriksaan perkara dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama berdasarkan surat dakwaan bernomor register perkara idm 147/jkt.ut/12/201.
Dalam pembacaan tanggapan, Ali membantah eksepsi tim penasihat hukum yang menyatakan bahwa proses persidangan dilakukan terlalu cepat karena dipengaruhi tekanan massa. Menurut dia, pidato Ahok saat kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu sudah memenuhi unsur pidana.
"Akibat adanya pidato di Kepulauan Seribu yang kemudian diunggah oleh Buni Yani di sebuah medsos memang menimbulkan dinamika, tapi bukan karena tekanan massa. Perkara ini sudah memenuhi Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP," kata Ali.
Selain itu, JPU juga menolak eksepsi bahwa proses hukum Ahok dinilai terlalu cepat di luar kebiasaan. Menurut Ali, proses hukum dan pelimpahan berkas perkara sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 136 KUHP serta batas waktu selama 14 hari dalam pelimpahan berkas tidak wajib dipakai seluruhnya.
Poin tanggapan jaksa selanjutnya juga menyinggung tentang penetapan tersangka yang tidak sesuai prosesur dan melanggar HAM seorang terdakwa. Tentang penetapan tersangka oleh kepolisian tidak sesuai prosesur dan melanggar HAM terdakwa, ini adalah domain Polri. "Jika penasihat hukum menilai tidak sesuai prosedur, seharusnya diajukan dalam praperadilan, bukan pada eksepsi," kata Ali.
Massa tertib bubarkan diri usai sidang Ahok | Equity World
Massa tertib membubarkan diri setelah mengetahui sidang lanjutan kasus penistaan agama dengan terdakwa gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah rampung, Selasa. Usai sidang dengan agenda mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum terhadap eksepsi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada No. 17, Jakarta Pusat, Ahok meninggalkan pengadilan pukul 09.58 WIB menumpang Kijang Innova dikawal satu unit mobil serupa.
Mengetahui sidang telah rampung, pukul 10.15 WIB kelompok massa penentang dan pendukung Ahok yang berkumpul di luar gerbang pengadilan mulai membubarkan diri.
Meski demikian, orator dari kelompok massa yang membawa atribut-atribut organisasi masyarakat Islam, yang sepanjang sidang tanpa henti menyampaikan orasi menuntut penuntasan kasus Ahok, menyerukan agar pada sidang selanjutnya massa kembali hadir untuk mengawal jalannya persidangan.
"Kita kembali lagi pada tanggal 27 Desember nanti untuk konsisten mengawal jalannya persidangan," seru salah satu orator dari atas mobil komando massa aksi. Bubarnya massa pelaku aksi sempat membuat arus lalu lintas di ruas Jalan Gajah Mada cukup padat dan tersendat.
Ahok menjadi terdakwa kasus penistaan agama karena pada akhir September, saat berbicara di hadapan warga Kepulauan Seribu, ia menyebut adanya pihak yang menggunakan Alquran Surat Al Maidah 51 untuk kepentingan tertentu, pernyataan yang kemudian memicu aksi demonstrasi besar.
Equity World