Konversi bahan bakar minyak ke gas berjalan sangat lamban | PT Equityworld Futures Pusat
Compressed Natural Gas and City Gas Manager Pertamina Ryrien Marisa mengatakan dari segi ketersediaan gas, alokasi untuk sektor transportasi darat sangat berlimpah. Kendati demikian, volumenya yang tinggi tak bisa dimanfaatkan secara optimum.
Turunnya realisasi penggunaan gas diakibatkan menurunnya armada bus yang selama ini menggunakan bahan bakar gas (BBG). Bus seperti Transjakarta misalnya, mengambil kontribusi pasar sebesar 80% dari penggunaan gas bagi transportasi. Sayangnya, armada bus ternyata berkurang karena pengoperasian kembali bus berbahan bakar solar dan menurunkan volume serapan gas.
Pemanfaatan gas bagi sektor transportasi darat masih rendah dengan capaian 2,8 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd) dari alokasi 25 MMscfd.
Pada 2015 realisasi pemanfaatan gas sektor transportasi darat sebesar 3,6 MMscfd. Pada 2016, serapan gas naik menjadi 3,8 MMscfd dan kembali turun pada 2017 yakni sebesar 2,8 MMscfd.
"Tahun ini per bulan Februari jadi 2,8 MMscfd atau hampir 30 juta liter. Dari 3,8 MMscfd berkurang jadi 2,8 MMscfd," ujarnya usai menghadiri acara Natural Gas Vehicles & Infrastructure Indonesia Forum & Exhibition ke-11 di Hotel Dharmawangsa, Selasa (14/3/2017).
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan agar terdapat tambahan dispenser gas pada 5.000 stasiun pengisian bahan bakar umum dalam kurun waktu dua tahun guna mendukung konversi bahan bakar minyak ke gas.
Dia pun menargetkan dispenser gas bisa merambah 5.000 SPBU eksisting dalam kurun waktu dua tahun. Ketentuan lebih lanjut, akan diatur dalam peraturan menteri.
Menurutnya, perkembangan konversi bahan bakar minyak ke gas berjalan sangat lamban. Oleh karena itu, dia menargetkan agar di SPBU yang telah terbangun bisa ditambahkan dispenser khusus bahan bakar gas.
Padahal, menurut Jonan, produksi gas nasional berada di level 1,6 juta barel setara minyak per hari (million barrel oil equivalent per day/mboepd). Sayangnya, figur pemanfaatan gas sektor transportasi baru diwakili oleh bajaj dan bus.
Paling tidak, bila harga jual gas 40% atau 30% lebih rendah dari premium atau RON 88, pastinya konsumen tertarik beralih menggunakan gas. Sebagai gambaran, premium kini dijual Rp6.450 per liter dan gas Rp3.100 liter setara premium (lsp).
Dia pun menargetkan dispenser gas bisa merambah 5.000 SPBU eksisting dalam kurun waktu dua tahun. Ketentuan lebih lanjut, akan diatur dalam peraturan menteri.
"Nanti mungkin dalam satu atau dua tahun akan ada 5.000 dispenser. Di setiap SPBU minimal satu (dispenser gas)," ujarnya saat memberi sambutan.
Dari data Kementerian ESDM, terdapat 68 unit stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan Iran yang memiliki 2.350 SPBG dan Thailand dengan 470 SPBG pada 2016.
"Kalau lebih tinggi dari premium, harganya RON 88 mungkin orang sudah enggak minat. Mesti signifikan [beda harganya] 40% atau 30%," katanya.
Konversi dianggap berhasil bila mobil pribadi menggunakan bahan bakar gas. Pasalnya, jumlah pengguna mobil pribadi lebih tinggi daripada jumlah bajaj maupun bus. Dengan penambahan jumlah dispenser gas, dia menyebut program konversi bahan bakar bisa bisa mendorong kinerja sektor manufaktur.
Faktor lainnya yang bisa mendorong penggunaan bahan bakar gas yakni harga jual. Bila harga jual gas tak lebih rendah dari premium, sulit bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan bahan bakar gas.
Ini Keuntungan Kendaraan Pakai Bahan Bakar Gas | PT Equityworld Futures Pusat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan mengatakan, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Perhubungan banyak kendaraan berbahan bakar minyak ingin beralih ke BBG. Hal tersebut disebabkan ada manfaat yang didapat.
Manfaat tersebut antara lain lebih hemat, karena harga BBG jauh lebih murah ketimbang BBM. Untuk diketahui, saat ini harga BBG Rp 3.100 per liter setara premium (lsp), jauh lebih murah dibanding Premium Rp 6.450 untuk di wilayah penugasan, di luar wiayah Jawa, Madura dan Bali.
Pemerintah terus mendorong penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) untuk kendaraan, guna mengurangi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang saat ini mayoritas diimpor. Namun, ada manfaat lain yang didapat bagi kendaraan yang menggunakan BBG.
"Kenapa harus mengubah jadi gas? Satu lebih murah, kalau tidak lebih murah, insentif untuk user tidak ada, terus animo pasti kecil," kata Jonan, acara 11th Natural Gas Vehicles and Infrastructure Indonesia Forum and Exhibition ke-11, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Selasa (14/3/2017).
"Lebih ramah lingkungan, jadi kita komit menjaga iklim dunia," tegas Jonan.
Jonan melanjutkan, dengan menggunakan BBG membuat mesin kendaraan jauh lebih bersih, karena kandungan RON pada BBG di atas 95, membuat pembakaran pada mesin kendaraan menjadi lebih sempurna dan lebih bertenaga. Dengan begitu, gas buang hasil pembakaran mesin menjadi jauh lebih bersih sehingga ramah lingkungan.
"Minyak mentah produksinya sekitar 800 ribu hingga 820 ribu barel perhari. Jadi gas masih jauh banyak untuk kita. Kalau mengatakan ini untuk mengurangi impor dan segalanya," tutur Jonan.
Jonan mengungkapkan, saat ini produksi gas Indonesia mencapai 1,4 hingga 1,5 juta barel setara minyak. Dia ingin gas tersebut diserap di dalam negeri, salah satu caranya dengan meningkatkan penyerapan pada sektor transportasi. Dengan begitu, dapat mengurangi impor minyak, karena saat ini produksi minyak Indonesia lebih rendah dibanding konsumsi.