Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menuntaskan reformasi hukum dan birokrasi. Hal itu disampaikan Ketua KPK, Agus Rahardjo dalam pembukaan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (1/12). "Kami berharap integritas penegakan hukum dan reformasi birokrasi disentuh, jadi seperti tema kami Reformasi Sistem Penegakan Hukum dan Pelayanan Publik yang Tansparan dan Akuntabel," kata Agus.
Sementara terkait transparansi pelayanan publik, KPK, kata Agus bakal meresmikan platform JAGA. Aplikasi yang dapat diunduh smartphone ini, masyarakat dapat memantau pelayanan publik. "Sekarang aplikasinya ada empat. JAGA sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan perijinan. Sehingga orang yang ajukan perijinan bisa memonitor di kabupaten A, syaratnya apa saja, berapa meja yang harus dilalui dan berapa lama waktunya, bisa monitor dari gadget-nya," ungkapnya.
Tak hanya empat pelayanan publik itu, Agus berharap akan ada lebih banyak kementerian dan lembaga yang dapat memanfaatkan platform JAGA ini. Dicontohkan, kepolisian dapat menggunakan platform JAGA untuk mengawasi pelayanan SIM dan STNK. "Yang kami tunggu lebih banyak aplikasi yang masuk platform ini. Melibatkan banyak pihak. Kepolisian bisa JAGA SIM-KU, STNK-KU. Tidak seketika dilaunching semua hal karena memerlukan perbaikan, peyempurnaan. KPK hanya trigger, teman-teman di daerah yang kelola, dan berhubungan dengan kantor staf presiden. Mudah-mudahan bisa lebih baik," katanya.
Agus menyatakan, dua hal ini menjadi penting untuk meningkatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang saat ini masih 36 atau hanya naik 2 poin dibanding tahun lalu. Berdasar data dari World Justice Project, integritas penegakan hukum Indonesia masih rendah dibanding negara-negara lain di Asia dan Pasifik. Sementara World Economic Forum menyebutkan, salah satu kelemahan Indonesia terkait dengan ease doing business yang salah satunya disebabkan belum efektifnya birokrasi. "Salah satu kelemahan kita adalah ease doing business in Indonesia, yang utama disorot World Economic Forum adalah belum efektifnya birokrasi kita. Ini yang perlu diperhatikan Bapak Presiden bagaimana birokrasi bisa dicegah korupsi dan agenda yang lama refomasi birokrasi," kata Agus.
Agus menyatakan, reformasi birokrasi bukan hanya persoalan numerisasi. Lebih dari itu, Agus juga menyoroti tumpang tindihnya kelembagaan di Indonesia. Dicontohkan, di sektor laut, terdapat setidaknya enam lembaga yang memiliki kewenangan, seperti Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Kementerian Maritim. Padahal, di Amerika, hanya ada dua lembaga yang menangani sektor laut. Tumpang tindihnya lembaga ini membuat birokrasi sangat boros dan tidak efektif.
"Segera akan diresmikan bersama Polri dan Kejaksaan Agung e-SPDP atau SPDP yang di-online-kan. Nanti pimpinannya bergilir antara Deputi Penindakan KPK, Bareskrim dan Jampidsus. Jadi Kajari kabupaten A dilakukan penyelidikan dan penyidikan apa sudah berapa lama mandek kenapa itu. Dimonitor dari Jakarta sehingga monitoring penindakan korupsi bisa lebih baik dan berjalan dibanding yang lalu," katanya.
"Mohon ini dipikirkan mendalam apa perlu enam lembaga beroperasi di laut. Ini yang perlu dikaji oleh teman-teman Menpan dan RB dan yang terkait birokrasi karena sangat boros. Tantangan adalah untuk memberikan numerisasi yang cukup juga jadi berat dan dicerminkan di daerah belanja pegawai porsi yang sangat tinggi di APBD," katanya.
Terkait integritas penegakan hukum, Agus memaparkan pihaknya terus menjalin koordinasi dengan Polri, dan Kejaksaan Agung. Ketiga lembaga penegak hukum ini akan meresmikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) secara elektronik atau e-SPDP. Dengan sistem ini, pimpinan KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri di Jakarta dapat memonitoring penanganan kasus-kasus korupsi yang dilakukan Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, mauapun Polda di daerah.
Presiden: penegakan hukum belum buat jera koruptor | Equity World
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi selama ini belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para koruptor.
"Dari fakta-fakta ini, membuat saya sering bertanya-tanya mengapa walaupun jumlah koruptor yang dipenjara sudah banyak dan yang ditangkap tangan juga sudah banyak, namun praktik korupsi dan perilaku korupsi masih terus terjadi dan terus berlanjut," kata Presiden Jokowi saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2016 di Balai Kartini Jakarta, Kamis. Presiden menyatakan setuju dengan pendapat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa yang sangat diperlukan saat ini adalah penegak hukum yang berintegritas.
Ia juga menyebutkan masalah yang berkaitan dengan inefisiensi birokrasi juga perlu segera diperbaiki dan dibenahi. Dalam kesempatan itu Kepala Negara menyebutkan ada tiga problem besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama berkaitan dengan korupsi, kedua tentang inefisiensi birokrasi dan ketiga berkaitan dengan ketertinggalan infrastruktur.
"Tiga hal besar ini yang harus kita atasi bersama-sama," kata Presiden Jokowi. Menurut dia, jika indeks persepsi korupsi dan indeks daya saing dapat diperbaiki maka peringkat kemudahan untuk memulai berusaha di Indonesia juga akan meningkat.
"Kalau ini bisa dikerjakan, yang berkaitan dengan tadi indeks persepsi korupsi, yang berkaitan dengan indeks daya saing, yang berkaitan dengan ease of doing business saya kira kita akan menempati ranking yang baik," kata Presiden.
Di hadapan peserta konferensi nasional itu, Presiden Jokowi meminta agar kondisi yang saat ini tidak membuat pesimistis dan patah semangat. Kita harus bekerja lebih keras lagi, lebih komprehensif dan lebih terintegrasi dan jangkauan pemberantasan korupsi harus mulai dari hulu sampai hilir, dari pencegahan sampai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas," katanya.
Menurut dia, pemberantasan korupsi juga harus melibatkan semua pihak mulai dari eksekutif, legislatif maupun lembaga peradilan, penegak hukum, sektor swasta sampai ke masyarakat.
Sejumlah pemateri yang direncanakan mengisi acara tersebut antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Jaksa Agung M Prasetyo serta sejumlah pimpinan KPK.
Jokowi beberkan 370 pejabat negara dipenjara karena korupsi | Equity World
Presiden Joko Widodo membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) di Gedung Balai Kartini Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (1/12). Jokowi menegaskan komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Dalam Indeks persepsi Korupsi (IPK), Indonesia masih berada pada urutan ke 88. Sementara untuk Ease of Doing Business, masih berada pada posisi ke 91. Ada tiga faktor yang membuat Ease of Doing Business Indonesia masih berada di level rendah yakni korupsi, inefisiensi birokrasi dan ketertinggalan infrastruktur. "Kalau ini bisa dikerjakan yang berkaitan dengan tadi, Indeks persepsi korupsi, yang berkaitan dengan indeks daya saing, berkaitan dengan ease of doing business saya kira kita akan menempati ranking yang baik," ucapnya.
Dalam sambutannya, Jokowi membeberkan banyaknya pejabat negara baik dari eksekutif maupun legislatif yang merasakan dinginnya jeruji besi akibat terlibat tindak pidana korupsi. Jumlahnya cukup fantastis, 370 orang. "Hingga hari ini, sudah, ini informasi yang saya terima, 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga pemerintah, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 Gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon I-III serta 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi," ungkap Presiden Jokowi.
Masih banyaknya pejabat negara yang dipenjara karena korupsi menunjukkan bahwa penegakan hukum ternyata belum memberi efek jera. Namun bukan berarti pemerintah, penegak hukum dan masyarakat menyerah serta patah semangat untuk melawan korupsi.
"Kenyataan tadi yang saya sampaikan tidak boleh membuat kita patah semangat, kita harus bekerja lebih semangat lagi, lebih komprehensif, lebih terintegrasi dan jangkauan pemberantasan korupsi harus mulai dari hulu sampai hilir. Dari pencegahan sampai dengan penegakan hukum yang tegas," tegas Jokowi.