Kapolri Tito Karnavian mengatakan, penangkapan terhadap 11 orang yang waktunya bersamaan dengan aksi 2 Desember 2016 disengaja untuk menghindari adanya kesan penggembosan terhadap aksi damai. Penangkapan juga dilakukan dengan mempertimbangkan media sosial yang memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan opini.
"Tapi, caranya adalah memanfaatkan massa untuk memaksa menduduki gedung DPR/MPR," katanya. Pemanfaatan massa itu dilakukan dengan tujuan memaksa diselenggarakan sidang istimewa, dan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Dia mengatakan, rencana mendompleng aksi di Monas itu telah berlangsung dengan intens.
"Tentu kritik kepada pemerintah bukan tabu dan itu diperbolehkan secara hukum. Silahkan (mengkritik) dengan menyampaikan aspirasinya ke Parlemen. Tapi, menduduki parlemen, apapun alasannya, adalah inkonstitusional," tuturnya.
Sebelas orang yang ditangkap itu adalah: Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, ibu Firza Husein, Eko, Alvin, dan ibu Rachmawati Soekarnoputri, dan Sri Bintang Pamungkas. Mereka dijerat dengan Pasal Pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP tentang makar. Sementara Jamran dan Rizal Kobar dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kakak beradik ini ditangkap karena ujaran kebencian dan menyebarluaskan permusuhan dengan isu SARA. Terakhir, musisi yang juga calon Wakil Bupati Bekasi Ahmad Dhani Prasetya dijerat dengan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa. Dhani dilaporkan lantaraan orasinya pada aksi 4 November lalu dinilai menghina presiden.
"Kalau sehari sebelumnya (dilakukan penangkapan), khawatir akan dipelintir. Nanti keluar di media sosial, seolah-olah (penangkapan itu) penggembosan. Oleh karena itu, kami setting subuh (penangkapannya)," kata dia saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Senin, 5 Desember 2016.
Menurutnya, penangkapan kesebelas orang yang diduga merencanakan makar itu dilakukan pada waktu subuh untuk mencegah isu terkait penangkapan berkembang lebih luas. Waktu yang tersedia akan sedikit bagi pengembangan isu penangkapan di masyarakat. Bila penangkapan dilakukan 1 atau 2 hari sebelum aksi di Monas, dia mengatakan, tidak tertutup kemungkinan isu yang berkembang bisa membalik keadaan.
Tito menambahkan, setelah dilakukan penangkapan tidak ada insiden lainnya. Massa yang melakukan aksi di Monas pada pukul 16.00 sudah mereda. "Kami tidak ingin ada pihak lain yang mengganggu kesucian ibadah (di Monas). Agenda satu hari itu harus betul-betul tidak ada insiden kekacauan. Kalau kacau, yang buruk adalah agama islam. Niat baik untuk ibadah juga bisa terganggu," ujarnya.
Terkait dengan penangkapan 11 orang pada saat aksi 2 Desember 2016, Tito menyatakan, sebelumnya intelijen polisi telah mendapatkan indikasi adanya kelompok yang memanfaatkan aksi di Monas untuk kepentingan agenda politik mereka sendiri. Ada beberapa agenda politik, seperti kembali ke UUD 1945 dan hal-hal lain terkait masalah penyelamatan kebangsaan.
Komisi III Dalami Keputusan Polri Tangkap Sejumlah Aktivis | Equityworld Futures
Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Kapolri pada Senin akan mendalami keputusan Polri menangkap sejumlah aktivis pada Jumat (2/12). Penangkapan dinilai represif dan mengundang reaksi publik.
Politikus Partai Golkar itu berharap Polri lebih manusiawi dan lebih melindungi masyarakat ketika menangani adanya indikasi tindakan-tindakan yang dinilai ingin menggulingkan pemerintahan. Hal itu menurut dia, apa yang dilakukan para aktivis itu hanya berupa ucapan saja bukan mengarah pada sebuah tindakan. "Mereka hanya perkataan bukan perbuatan. Ini juga menimbulkan pertanyaan khususnya kami di Komisi III DPR dan mereka yang ditangkap adalah kakek-kakek dan nenek-nenek," katanya.
Menurut dia seharusnya Polri bisa melihat lebih rinci indikasi terjadinya makar misalnya kampus-kampus kompak bergerak dan ada mimbar bebas namun itu tidak terjadi. Dia mengatakan kekuatan pemerintah di parlemen kuat, menguasai partai politik, kampus tidak ada gerakan dan Presiden Joko Widodo masih dicintai rakyat sehingga tidak terpenuhi syarat makar.
"Jadi yang paling fokus adalah cara-cara Polri yang terkesan represif terutama terkait mengundang reaksi publik, terutama penangkapan aktivis sebelum shalat Jumat (2/12)," kata ketua komisi III Bambang Soesatyo di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (5/12).
Dia mengatakan tindakan Polri itu mengingatkan masyarakat dengan tindakan pemerintah di era orde baru padahal pemerintahan saat ini lahir di era reformasi sehingga cara-cara penangkapan yang dilakukan Polri harus dihindari. Bambang menegaskan masih banyak cara-cara elegan yang tidak melanggar kesepakatan demokrasi yang saat ini menjadi pilihan bangsa Indonesia. "Jika memilih cara demokrasi jangan membatasi cara-cara berpendapat," ujarnya.
Kapolri beberkan strategi makar yang tunggangi demo 2 Desember | Equityworld Futures
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Salah satu agenda rapat, Komisi III DPR ingin mempertanyakan tentang 11 aktivis yang ditangkap karena diduga ingin melakukan makar. Tito melanjutkan, Polri melihat kelompok makar ini intens berkooptasi dengan GNPF. Oleh sebab itu, Polri membangun dialog dengan massa GNPF. Sebab, Tito mengaku tahu bagaimana cara kelompok makar ini ingin tunggangi massa GNPF.
"Kami bangun dialog dengan GNPF dalam rangka tuntutan Basuki atau melakukan ikut dalam upaya duduki DPR kemudian agenda politik lain? Mereka menyatakan komit, tidak, kami putusannya satu isu, proses hukum," terang Tito.
"Kalau begitu, jangan gunakan Jalan Sudirman Thamrin, kalau mereka gunakan jalan Sudirman Thamrin, dengan massa yang begitu besar, ekornya ada di DPR/MPR, sampai Semanggi, patung Senayan, belok dia ke depan Hotel Mulia dan seterusnya, sampai ke belakang DPR, berikutnya naik Semanggi dan pelintir sedikit saja mudah sekali jumlah massa besar mudah sekali (masuk DPR)," lanjut dia.
Oleh sebab itu, Tito intens komunikasi dengan massa GNPF agar tak mau ditunggangi kelompok yang disebut makar ini. Beruntung, menurut dia, GNPF tak mau ditunggangi meski ada sedikit orang-orang yang sudah dibayar untuk membelokan massa ke DPR untuk memaksa menggelar sidang istimewa menjatuhkan pemerintahan yang sah saat ini.
Tito mengatakan, dari informasi intelijen yang diperoleh Polri, pada pelaku makar ini berkomunikasi intens dengan pendemo. Menurut dia, kelompok ini ingin membelokkan ratusan ribu massa yang tergabung dalam GNPF untuk menduduki gedung DPR dan MPR.
"Silakan jika ingin datang ke DPR, sampaikan aspirasi ke komisi masing-masing, tapi duduki DPR secara paksa, kekerasan, apapun alasannya, itu inkonstitusional. Kami melihat gerakan itu," kata Tito di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12).
Tito menjelaskan, pernyataan Polri soal makar bukan ditujukan kepada GNPF yang menuntut penegakan hukum terhadap Basuki T Purnama ( Ahok). Dia mengeluarkan pernyataan itu karena ingin memberikan peringatan kepada para kelompok makar tersebut. "Kami tahu Anda, kira-kira begitu, tolong hentikan, jangan manfatkan massa GNPF yang murni ingin proses hukum terhadap saudara Basuki. Polri komit untuk proses hukum itu sudah kita buktikan," tutur dia.