Penurunan tiga hari terbesar sejak Februari 2016 | PT Equityworld Futures
Harga minyak tergelincir pada hari Jumat (10/3/2017) menutup pekan ke level terendah tiga bulan. Hal ini terjadi karena pasar khawatir pemotongan produksi yang dipimpin OPEC belum mampu mengurangi kelebihan pasokan global.
Dikutip dari CNBC, Senin (13/3/2017) patokan minyak mentah AS atau West Texas Intermediate (WTI) pada Jumat ditutup turun 79 sen atau 1,6 persen ke level 48,49 dollar AS per barel.
Harga minyak mulai meluncur awal pekan ini setelah berita kenaikan besar persediaan minyak mentah AS mencapai rekor tertinggi.
Minyak mentah AS telah merosot sekitar 9 persen sejak penutupan Selasa, menandai penurunan tiga hari terbesar sejak Februari 2016.
Sementara itu, patokan minyak Brent turun 91 sen atau 1,7 persen ke level 51,28 dollar AS per barel.
Pada hari Kamis, minyak mentah AS jatuh di bawah 50 dollar AS per barel untuk pertama kalinya sejak Desember, meningkatkan kekhawatiran di antara produsen minyak besar seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Pada hari Jumat, perusahaan jasa pengeboran minyak Baker Hughes melaporkan peningkatan mingguan jumlah rig yang dioperasikan di AS.
"Kami belum melihat pengurangan produksi yang dilakukan oleh produsen di dunia benar-benar meringankan kelebihan persediaan," kata Gene McGillian, manajer riset pasar di Tradition Energy di Stamford, Connecticut.
Analis Morgan Stanley mengatakan dalam sebuah catatan kepada klien, mereka masih memperkirakan minyak mentah Brent akan berakhir tahun ini lebih tinggi, sekitar 62,50 dollar AS per barel.
Namun, mereka juga mengatakan keuntungan yang mengikuti kesepakatan OPEC dapat dibatalkan karena permintaan bensin lemah, pengeboran lebih banyak membebani harga.
Di sisi lain, produsen minyak AS berpendapat memperluas produksi di North Dakota, Oklahoma dan daerah serpih lainnya.
Persediaan minyak mentah AS membengkak 8,2 juta barel pekan lalu ke rekor 528,4 juta barel.
Analis Morgan Stanley mengatakan dalam sebuah catatan kepada klien, mereka masih memperkirakan minyak mentah Brent akan berakhir tahun ini lebih tinggi, sekitar 62,50 dollar AS per barel.
Ditambah lagi, output telah melonjak di Permian, ladang minyak terbesar di AS. Menurut Baker Hughes, pengebor AS menambah delapan rig pada minggu terakhir, mengerek jumlah rig menjadi sebanyak 617, tertinggi sejak September 2015.
Pelemahan Harga Minyak Jebloskan Saham Tambang | PT Equityworld Futures
Harga minyak mentah dunia yang mengalami penurunan hingga berada di sekitar level US$50 per barel membuat harga sejumlah komoditas ikut tergerus, terutama batu bara yang tembus ke bawah level US$80 per metrik ton.
Namun, bila mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batu bara acuan (HBA) per Maret 2017 masih berada di level US$81,9 per metrik ton, turun tipis dari HBA per Februari 2017 US$83,32 per metrik ton.
Analis Samuel Sekuritas Muhamad Al Fatih menuturkan, harga minyak selalu menjadi faktor utama dalam pergerakan harga sejumlah komoditas, terutama seperti batu bara dan metal.
"Harga minyak jelas berpengaruh, umumnya memang harga batu bara ini beriringan dengan harga batu bara," ucap Al Fatih
Hal ini membuat indeks sektor tambang terjun bebas sepanjang pekan lalu. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukan indeks sektor tambang berada di level 1.363,904, atau mengalami penurunan mencapai 4,61 persen dari posisi sebelumnya 1.429,787, menjadi sektor yang melemah paling dalam.
Penurunan ini membuat kepercayaan pelaku pasar menurun dengan kelangsungan harga batu bara selanjutnya. Hal ini berdampak negatif pada harga saham sejumlah emiten berbasiskan batu bara, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Menurut Al Fatih, selain karena penurunan harga minyak, peningkatan risiko geopolitik di Asia terkait peluncuran rudal Korea Utara ke wilayah zona ekonomi eksklusif Jepang. Dalam hal ini, China sebagai pemakai komoditas batu bara sedikit terganggu.
"Ketika ekonomi China terganggu, permintaan dunia akan terganggu karena China pemakai batu bara terbesar," ungkap Al Fatih.
Untuk pekan ini, Al Fatih menilai, sektor tambang masih akan melemah seiring dengan harga minyak yang juga diprediksi masih dalam tren penurunan. Dengan demikian, sektor tambang tidak disarankan bagi pelaku pasar selama pekan ini.
Dari keempat emiten tersebut, Bumi Resources menderita penurunan paling signifikan yakni, 8,02 persen. Harga sahamnya pada awal pekan lalu masih berada di level Rp324 per saham, tetapi pada akhir pekan merosot ke level Rp298 per saham.
Kemudian, penurunan harga sahamnya disusul oleh Adaro Energy yang turun 5,04 persen, lalu Indo Tambangraya 4,53 persen, dan Bukit Asam yang terkoreksi 3,48 persen.
Di sisi lain, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee memprediksi, harga minyak akan bangkit (rebound) secara terbatas karena penurunan harga minyak yang terjadi sudah cukup dalam. Dengan begitu, harga batu bara pun berpeluang kembali naik dan berdampak positif terhadap emiten batu bara.
"Kemungkinan bisa naik terbatas untuk harga batu bara. Mungkin akan bangkit minggu ini, tapi hanya untuk trading mingguan," ujar Hans Kwee.
Kendati demikian, beberapa emiten tersebut hanya direkomendasikan untuk perdagangan jangka pendek. Harga batu bara yang masih belum terbilang stabil menyebabkan emiten batu bara tidak bisa dijadikan investasi jangka panjang.
Asal tahu saja, jika diakumulasi, maka harga saham Adhi Karya sejak awal Februari hingga akhir pekan lalu tercatat naik 8,69 persen. Di mana pada awal Februari berada di level Rp2.070 per saham, sedangkan Jumat kemarin (10/3) ditutup ke level Rp2.250 per saham
Selain Adhi Karya, tentunya saham konstruksi pelat merah lainnya juga dinilai masih cukup menarik karena proyek infrastruktur yang semakin agresif. Emiten tersebut antara lain seperti, PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT WIjaya Karya Tbk (WIKA), dan PT PP Tbk (PTPP).
Sementara itu, analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu merekomendasikan saham konstruksi, terutama PT Adhi Karya Tbk (ADHI). Menurutnya, Adhi Karya cukup menarik karena termasuk yang paling sering melakukan aksi korporasi, terlebih lagi dalam mencari pendanaan untuk proyek light rail transit (LRT).
"Harga sahamnya terus tumbuh kalau diperhatikan dari Februari ya. Jadi target harga dinaikan dari Rp2.020 per saham, sekarang targetnya Rp2.600-Rp3.000 per saham," kata Lucky.